Thursday, 3 October 2013

Resiko menikah dengan orang Turki (edisi Shock Culture)

Setiap orang yang ingin memutuskan untuk menikah, sudah pasti yang terbayang adalah indahnya menjadi pengantin baru. Ada rasa bahagia, tegang sekaligus deg-deg-an… nano nano lah pasti rasanya, apalagi kalau calonnya orang asing atau kata orang suka di sebut “bule”. Baik pihak laki-laki atau perempuannya sudah membayangkan dan merencanakan bagaimana kehidupan baru kelak yang akan di jalani ketika keduanya menyandang status baru menjadi sepasang suami istri. Dapat di bayangkan juga rasa bahagia keluarga dari kedua belah pihak, ucapan selamat berbahagia dan selamat menempuh hidup baru akan berdatangan silih berganti dari berbagai penjuru untuk menyalami.

Eiitttt… selain membayangkan yang indah-indah, pihak laki-laki atau pihak perempuannya juga harus mempersiapkan diri untuk membayangkan kenyataan lain seperti apa dan bagaimana hidup yang akan di jalani nanti bersama suami orang asing dan dengan lingkungan yang asing pula. Akan ada banyak rutinitas baru, kegiatan baru, tugas baru, dan kebiasaan baru sebagai seorang istri dan sebagai seorang suami untuk bisa beradaptasi, kerjasama, saling melengkapi dan mendampingi satu sama lain untuk menjalani kehidupan berumah tangga.

Khususnya bagi yang akan menikah dengan orang asing, betul-betul harus di pertimbangkan lagi matang-matang dalam mengambil keputusannya kelak untuk bersanding dengan si “dia”. Karena ke depan pasti akan ada banyak perbedaan entah itu dalam hal bahasa, karakter, makanan, budaya, adat dan kebiasaan yang lainnya. Setiap dua manusia bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan apalagi beda negara, artinya disitu ada dua negara, dua karater, dua kultur, dua bahasa yang berbeda satu dengan yang lain. Jadi selain persiapan teknis seperti persyaratan pernikahan, persiapan resepsi pernikahan dan yang lainnya, ada hal lain yang jauh lebih penting bagi pasangan yang ingin memutuskan untuk menikah dengan orang asing, yaitu persiapan mental ketika harus tinggal bersama suami dan survive di negara orang.

Topik ini cukup penting untuk di share dan baca oleh orang-orang yang sedang menjalin hubungan dengan orang luar (khususnya orang Turki) supaya dapat di pikirkan keputusannya secara matang bagaimana kehidupannya nanti kelak setelah menikah. Ketika kalimat ijab kabul akan diucapkan dan ikatan pernikahan akan di syahkan, mental masing-masing sudah siap untuk struggle hidup bersama membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia.


Sebetulnya tinggal di luar negeri itu tidak sekeren, seindah atau senyaman yang dibayangkan. Memang terlihat banyak keindahan, tempatnya rapih, bersih, cantik atau banyak tempat bersejarah yang bisa di petik hikmahnya sekaligus bisa jalan-jalan ke luar negeri. Tapi ternyata kenyataanya tidak seindah itu, akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tantangan yang nanti akan di hadapi itu adalah "Culture Shock" atau geger budaya. Shock culture itu biasanya di hadapi oleh orang-orang yang menghadapi transisi perpindahan lingkungan dari satu negara ke negara lain. Dari segi mana sajakah itu??? saya akan coba kupas satu persatu.

1.      Perbedaan bahasa, karakter dan kebiasaan suami istri
            Untuk perbedaan bahasa biasanya bisa di tengahi dengan bahasa internasional yang sudah di akui secara umum yaitu bahasa inggris. Tapi adakalanya ketika terjadi sebuah masalah atau sebuah salah paham antara suami istri atau dengan pihak keluarga suami, kadang-kadang agak susah untuk memberikan sebuah pengertian atau memahamkan satu sama lain. Karena hampir rata-rata orang turki jarang yang bahasa inggrisnya bagus. Jadi terkadang otak kita harus bekerja dua kali lipat karena kita harus menterjemahkan terlebih dahulu kalimat demi kalimat yang akan di utarakan ke pasangan kita. Jadi bayangkan saja, ketika situasi panas “pertengkaran” terjadi dan satu sama lain pegang kamus dan harus nerjemahin dulu, itu bisa saja terjadi loh! Jadi bahasa betul-betul memegang peranan penting dalam berkomunikasi dan juga menjadi kebutuhan untuk bisa saling memahami, saling mengerti dalam mengutarakan maksud atau keinginan dan juga isi hati. Jadi kita harus siap dengan segala kemungkinan dan kendala perbedaan bahasa dalam kehidupan kita nantinya.

            Perbedaan karakter akan selalu ada bagi setiap pasangan pengantin baru. Entah itu pengantin dari satu negara, satu kota, satu etnis atau lintas etnis… apalagi ini lintas negara. Setiap manusia memiliki karakter bawaan dan kebiasaannya masing-masing. Yang terpenting adalah bagaimana cara menyikapi perbedaan tersebut untuk bisa saling mengerti dan memberikan toleransi satu sama lain. Intinya semua pihak harus bisa kompromi secara terbuka, adil dan bijaksana.

            Misalnya: sang istri karakternya tipikal orang asia yang lemah lembut, sopan dan selalu ‘legowo’ menerima apa adanya, tapi sebaliknya sang suami tipikal turki yang keras, blak-blakan, pemaksa dan besar kemauan. Di antara semua perbedaan tersebut ada satu persamaan yang bisa menyatukan semuanya itu yaitu dengan cinta dan kasih sayang. Karena tipikal orang turki mayoritas romantis, penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Jadi kita harus siap juga untuk menghadapi perbedaan karakter seperti ini dan bisa kompromi satu sama lain. Puncaknya kalau perbedaan ini ternyata tidak bisa di pertemukan berarti kita harus bisa bersikap toleransi dengan membiarkan perbedaan tersebut dan tidak merugikan satu sama lain.

            Atau contoh kecil lain misalnya: si istri orang Indonesia biasa makan dengan tangan, sedangkan bagi suami orang turki kebiasaan mereka makan dengan garpu, kalau makan dengan tangan terlihat menjıjıkkan dan kurang sopan apalagi untuk makan bersama dengan keluarga. Perbedaan ini tinggal di diskusikan solusinya tanpa mengintimidasi satu sama lain, maksudnya si istri bisa makan dengan tangan kalau di rumah sendiri atau hanya berdua dengan suami. Tapi ketika makan bersama dengan keluarga atau ke rumah orang lain harus pakai sendok dan garpu.

2.      Perbedaan cuaca dan lingkungan
            Cuaca di Turki ada 4 (empat) musim sama seperti di eropa dari mulai musim panas (summer) sekitar bulan Juni sampai Agustus, musim gugur (auntumn) sekitar bulan September sampai November, musim dingin (winter) sekitar bulan Desember sampai bulan Februari, dan musim semi (spring) dari mulai bulan Maret sampai Mei. Setiap musim memiliki suhu yang berbeda, bahkan ketika transisi dari musim satu ke musim yang lainnya kondisi suhu cuaca terkadang berubah drastis dari panas ke dingin atau dari dingin ke panas. Kadang cuaca berangin yang bisa membuat orang pusing, terkadang cuaca lembab panas tak karuan yang membuat orang pengen nyebur ke laut saat itu juga.

            Jadi dalam menghadapi perubahan cuaca seperti ini juga akan berpengaruh ke kesehatan badan, kesehatan kulit, kostum pakaian dan juga stok makanan dan sayuran yang tersedia. Karena di di musim dingin harga sayuran dan buah-buahan pasti akan naik dua kali lipat dari harga biasa. Tapi terkadang ketika musim dingin, buah jeruk jenis sunkis justru banyak di pasar dengan harga murah, kadang 1 TL perkilo (sekitar 5000 rupiah).

            Untuk pakaianpun dalam setahun kayaknya harus punya lebih banyak baju panjang, karena musim panas hanya 3 bulan, sisanya pasti dingin dan puncaknya pas winter dengan baju bertebal dan berlapis dengan sweater dan juga jaket/mantel bulu tentunya. Bagi perempuan, cuaca winter akan jadi musuh untuk kesehatan kulit karena akan membuat kulit jadi kering, jadi harus siap sedia krem pelembab atau semacam jenis vaselin agar kulit tidak kering.

            Intinya setiap perpindahan musim, baju pasti akan selalu di pack dan masuk laci gudang barang. Biasanya setiap musim dingin lewat, mantel atau jaket tebal di simpan atau di packing lagi ke lemari dan baju tangan panjang dan jaket biasa di keluarkan. Bisa di bayangkan repotnya dalam mengatur per-kostuman dan bongkar pasang lemari setiap pergantian musim kan.

3.      Perbedaan generasi antara mertua dan menantu (or just say miss-communication across generation)
            Hampir rata-rata kehidupan pernikahan suami istri selalu akan ada tantangan tersendiri dengan adanya kehadiran mertua di tengah rumah tangga pengantin baru. Dan ternyata hal ini menjadi salah satu faktor terbanyak “kericuhan” dalam rumah tangga anaknya. Apalagi ketika  pasangan tersebut harus di hadapkan dengan pilihan serumah dengan mertua, bisa di bayangkan ga nantinya akan seperti apa. Sebetulnya ada nilai positif dan negatif ketika harus tinggal satu atap dengan orang tua suami alias mertua.

            Positifnya jadi bisa belajar memasak makanan turki, belajar cara membersihkan rumah dari mulai ruang tamu, dapur, kamar dan toilet. Believe me, cara membersihkan rumah orang turki sangat detail sampe ke gagang pintu dan pintunya pun di lap bersih bolak balik hingga ke tiap sela-sela lampu hias yang ada di rumah. Wanita turki cukup bersih, rapih dan tertata banget kalau untuk urusan kebersihan dan kerapihan rumah. Bahkan kita bisa belajar bahasa dan adat istiadatnya juga sekaligus kalau serumah dengan mereka. Karena mertua adalah salah satu contoh terdekat untuk kita bisa belajar bersosialisasi dengan orang turki.

            Negatifnya, biasanya banyak yang ikut campur tangan dan ngatur dalam setiap hal urusan rumah tangga pengantin baru. Tapi tergantung orangnya juga, ada mertua yang cukup fleksibel dengan memberikan keluasan dalam segala keputusan rumah tangga anaknya. Tapi ada juga yang campur tangannya “extraordinary”, karena mungkin masih merasa mengasuh anaknya yang masih “kecil”. Dari mulai urusan rumah, rutinitas masing-masing dan sampai urusan pertengkaran antara pengantinnya itu sendiri. Apalagi kalau sudah punya anak, biasanya ibu mertua pun akan ikut mengurus atau ikut mengatur segala kebutuhan si bayi dari mulai makannya, bajunya dan bahkan waktu bermainnya. Karena katanya, mertua sudah berpengalaman dalam menangani urusan rumah, tapi terkadang mereka juga lupa bahwa menantu mereka adalah seorang istri atau seorang ibu baru yang harus belajar dan harus terjun langsung ke lapangan untuk bisa praktek langsung menangani urusan rumahnya sendiri.

            Jadi kalau sudah ada keputusan untuk menikah, pastikan sang suami sudah mencari rumah sendiri sehingga tidak perlu harus serumah dengan mertua. Kalaupun ternyata bisa pisah rumah, tetap untuk menjalin silaturahmi dengan orang tua dan keluarga suami. Selain untuk membina ikatan persaudaraan dan mempererat tali silaturahmi, juga bisa menjadi media pembelajaran bagi kita untuk memahami segala sesuatu tentang kultur dan budaya keluarga di Turki.

            Tapi kalau kondisinya ternyata mengharuskan kita serumah dengan mertua, tinggal pintar menjaga sikap dan berkompromi, kuncinya tetap harus pintar juga dalam berkomunikasi. Kita juga harus ingat satu hal, bahwa suami kita di besarkan dan di urus oleh orang tuanya dan dengan gaya mereka, jadi kita perlu belajar bagaimana mengurus anak mertua kita, alias suami.

4.      Perbedaan adat istiadat dan kultur lintas negara
            Sekali lagi saya katakan kalau tinggal di luar negeri itu tidak se-keren, se-indah dan se-nyaman yang di bayangkan. Banyak sekali hal yang harus kita bisa beradaptasi dengannya, dan banyak sekali hal yang harus kita pelajari di sekitar lingkungan kita. Dimana salah satunya adalah adat istiadat dan kultur yang berlaku di negara tersebut. Entah itu adat kultur dalam bertamu, berkomunikasi, bertetangga, bersosialisasi dan yang lainnya.

            Misal adat istiadat dalam bertamu sudah saya bahas di postingan yang sebelumnya. Contoh lain misalnya adat orang turki dalam berkomunikasi, jangan kaget ketika mendapatkan 2 orang turki ngobrol satu sama lain dalam nada tinggi seperti yang sedang bertengkar, tapi ternyata itu hanya obrolan biasa yang topiknya cukup “hangat” tentang politik misalnya. Jadi nada tinggi mereka bukan bertengkar, tapi hanya sekedar diskusi. Tapi sekalinya orang turki harus bertengkar, pasti akan lebih tinggi dari pada suara yang sebelumnya, jadi just be ready aja ya kalau banyak suara nada “sopran” di sekitar kita kalau sudah berada di Turki.

            Satu lagi yang saya pelajari dari sifat kerasnya orang Turki. Ketika mereka marah, mereka akan mengeluarkan segala kemarahan mereka saat itu juga, dengan kalimatnya yang pedas dan keras serta dengan sikap mereka yang keras juga, tapi ketika marahnya selesai satu jam atau satu hari kemudan mereka akan ngobrol biasa lagi, saling bercanda atau berpelukan lagi satu sama lain. Hebat juga pengelolaan emosinya (big thumb). Beda dengan kultur orang Indonesia yang marahnya bisa di pendam atau mungkin jarang marah (karena orang indonesia kan ramah ya :D), tapi sekali marah lamanya minta ampun bahkan bisa dendam berbulan-bulan atau ujung-ujungnya bisa memutuskan tali silaturahmi. Tapi semua kembali kepada karakternya masing-masing, bisa jadi ada juga yang berbeda.


5.      Perbedaan makanan, bumbu dan lainnya
            Salah satu perjuangan lain yang harus di hadapi adalah urusan makanan. Jangan harap ada mas bakso atau mie ayam yang datang keliling ke depan rumah. Atau mengharapkan tukang gorengan dan tukang mie telor yang biasa mejeng di depan gang rumah. Semua makanan yang biasa kita tinggal panggil “mas” atau “mang”-nya, kalau di Turki kita harus bisa buat sendiri!!! Jadi kalau mau makan masakan Indonesia, buat bahannya sendiri, berjuang masak sendiri dan nikmati juga sendiri. Mau bakso?! buat sendiri, dari mulai menggilingnya dan merebusnya. Mau pempek, mau sambel atau mau rendang?! buat sendiri. Jadi harus siap dari sekarang ya kalau rindu dengan makanan itu semua harus siap berjuang sendiri. Apapun kondisinya, di Turki tidak ada rumah makan padang atau warteg langganan.

            Jadi sebelum ke Turki, pastikan membawa bumbu instant, atau bumbu lain dan bahan makanan yang tidak ada di Turki. Jika sewaktu-waktu rindu makanan tersebut kita sudah siap menyingsingkan lengan baju dan tempur di dapur.

6.      Perbedaan sistem sosial masyarakat, kepemerintahan dan politik
            Untuk sistem kemasyarakata di Turki, mulai dari pendataan sipil dan kependudukan cukup terdata dengan rapi dan canggih. Setiap orang Turki pasti memiliki KTP atau dalam bahasa turkinya disebut “KIMLIK”, dan masing-masing orang memiliki nomor kimliknya masing-masing, termasuk bayi yang baru lahir. Jadi tidak mungkin akan terjadi penggandaan data atau double kimlik karena data base kependudukan tersusun secara sentral dan bisa di lihat secara online di belahan kota manapun di seluruh turki. Jadi misal ketika ada warga turki yang menikah di luar negeri, misal di indonesia maka dia harus lapor diri ke kedutaan turki sehingga data dia bisa langsung di rubah statusnya menjadi menikah.

            Untuk kepemerintahan juga sejauh yang saya perhatikan secara general cukup disiplin dan bagus cara kerjanya, termasuk birokrasinya juga cukup simple dan mudah sehingga step by stepnya bisa di lakukan oleh setiap orang bahkan dari desa sekalipun. Misal untuk urusan KTP, passport, asuransi dan lainnya. Untuk mengajukan kimlik/ktp saja hanya membutuhkan 15 menit tunggu langsung jadi. Passport pun kalau tidak salah hanya menunggu sekitar 3-7 hari setelah pengajuan di tempat asalnya, dan passportnya di kirim langsung dari kantor pusat di Ankara lewat paket pos. Pokoknya masalah pelayanan pemerintah layak di acungkan jempol deh. Asal kita tahu aturan dan persyaratannya sudah cukup.

            Untuk fasilitas umum seperti taman bermain untuk anak-anak, fasilitas alat olahraga, lapangan bola basket atau lapangan skateboard tidak kalah keren seperti yang sering kita temukan di komplek atau di mall-mall. Sebetulnya semua fasilitas ini juga sangat masuk akal karena pajaknya yang tinggi, entah itu pajak listrik, air, gas, barang-barang elektronik dan pajak yang lainnya. Tapi pengelolaan pajaknya terlihat jelas dan di rasakan oleh masyarakat itu sendiri. Bahkan untuk kesehatan juga ada jaminan asuransi khusus bagi masyarakat yang tidak bekerja alias pengangguran.

            Untuk tatanan masyarakatnya rata-rata orang Turki tinggal di gedung apartemen, sangat jarang orang turki tinggal di rumah seperti gaya perumahan orang Indonesia. Kalau di kita perumahan sangat banyak, dan apartemen sekarang baru menjadi trend. Kalau di Turki rata-rata orang tinggal di gedung apartemen, adapun komplek perumahan satu lantai seperti di kita biasanya hanya untuk orang elit atau yang berada. Ada juga yang punya rumah sendiri di tanah sendiri biasanya orang-orang yang tinggal di desa-desa.

            Untuk masalah politik, kalau di lihat dari jauh seperti simple tapi kalau di lihat dari dekat lagi sebetulnya cukup kompleks. Secara garis besar politik di Turki ada beberapa kubu, dari mulai garis sekuler yang di wakili parti CHP partainya orang sekuler, garis islam yang di wakili dengan partai AKP partainya PM Turki Recep Tayyip Erdogan, garis islam nasionalis dengan partai MHP yang katanya mewakili untuk prinsip kebangsaan dan keislaman di satukan menjadi satu. Jadi kalau mau melihat cara pandang politik pasangan kita, coba tanya pendukung partai apa si doi. Tapi yang namanya politik tetap politik, setiap orang bisa saja berubah dan berbeda dengan prinsip aslinya.

            Mudah-mudahan poin-poin di atas bisa cukup memberikan gambaran secara general tentang perbedaan dan tantangan yang akan di hadapi nanti ketika hidup di Turki. Jika ada kesalahan atau kekurangan mohon di kasih tahu aja di komen atau send email langsung juga boleh. After all, saya hanya berdoa bagi siapapun yang sekarang sedang di landa kebingungan atau kegalauan dalam mengambil keputusan, semoga Allah/Tuhan memberikan pilihan dan jawaban yang terbaik bagi mereka. Aamiin

Wallahu alam bishawwab